Cosmetic Religion

"Sebuah Renungan Tentang Realita Kita"

Allah swt. menarik selimut Nabinya yang terlelap “ya ayyuha al-muddatsir, qum fa andzir, wa rabbuka fa kabbir, wa tsiabaka fathohhir, wa ar-rujzah fahjur…”. Surat Al-Muddatsir ini seharusnya menyadarkan kita yang hanya terdiam saat agama ini dirong-rong musuh, saat penganutnya diadu domba dan saat Syariatnya dibuat bahan lelucon pemikiran-pemikiran liar. Ataukah hati ini, jasad ini sudah mati rasa karena terlalu lama duduk bersama pendusta.
Serum yang telah berhasil disuntikkan di dada dan kepala umat Islam sudah cukup menjadikan Agama ini hanya sebagai kosmetik yang hanya menampakkan keindahan di luar saja.
Coba kita perhatikan pernyataan-pernyataan di bawah ini;
“ ada jarak yang semakin melebar antara nilai-nilai yang diajarkan agama dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Memang nampak sepintas, kini kita banyak menemukan sekolah mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang memakai embel-embel agama di belakang namanya. Rumah-rumah ibadah seperti mesjid bertebaran hingga pelosok-pelosok desa.. Acara-acara keagamaan, semacam tabligh akbar, istighasah, ceramah atau khutbah para da’i kondang menghiasi program radio dan layar televisi kita. Tetapi hal itu semua masih harus dibuktikan efektifitasnya. Alih-alih berhasil menggerus kemungkaran, secara kualitas modus dan praktek kejahatan kian hari kian mengalami sofistikasi. Jangan-jangan orang yang menyaksikan acara-acara semacam itu memperlakukannya sebagai “instrumen katarsis” belaka. Persis seperti kita meyaksikan konser musik atau nonton film di bioskop, di mana tujuan paling utama orang datang ke sana adalah untuk memuaskan kebutuhan entertainment mereka.”
Satu dari sekian banyak pernyataan tentang wajah Islam dan Muslimin saat ini, namun pernyataan-pernyataan tersebut menjadi tak berarti kalau kita hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa ada keinginan memperbaiki diri, padahal itu semua merupakan kritikan tajam bagi kita para penuntut ilmu dan calon da’i yang sedang mempersiapkan diri di prantauan.
Mari renungkan realita yang terjadi sekitar kita, fenomena biasa yang lama-kelamaan membatu menjadi karakter dan begitu melekat pada kehidupan generasi muda Islam seperti kita. Sadar atau tidak kita mulai malu-malu menampakkan keislaman bahkan Amr Ma’ruf Nahi Mungkar sebuah jargon yang mulai tabu dibicarakan.
Sebagai bahan renungan saya (penulis) akan mencoba menghubungkan antara beberapa firman Allah swt. dalam surah al-muddatsir dengan realita yang terjadi pada diri kita, bahwa kita masih membutuhkan hal-hal kecil sebut saja itu Tadzkirah. Saling mengingatkan adalah budaya umat Islam yang seharusnya dilestarikan sampai dunia ini berakhir, Firman Allah swt. “wa Tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi ash-shabri” dan “ta’awanu ‘ala albirri wa attaqwa wa la ta’awanu ‘ala itsmi wa al-‘udwan” sudah cukup menjadi alasan yang kuat kenapa kenapa kita harus saling mengingatkan, belum lagi hadits-hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan hal tersebut.
Sederhananya, Pada awal surah Allah swt. menyadarkan Nabi Muhammad saw. untuk bergegas dan kembali berdakwah, sebuah perintah yang masih berlaku sampai saat ini agar kita tidak bersembunyi di balik selimut. Selanjutnya pada ayat 18-25 Allah swt. menyebut kisah Walid ibn al-Mughira yang hampir saja masuk Islam Karena kekagumannya terhadap Al-Qur’an namun, karena terpengaruh lingkungan yang antipati kepada Islam akhirnya Walid ibn al-Mughira ini berpaling dari hidayah karena sugesti yang salah.
Sebuah pengakuan “Mujrimin” tentang sebab-sebab mengapa mereka menghuni neraka “Saqar” juga disebutkan pada ayat 41-46, kalau kita simpulkan kira-kira seperti ini:
Sebab pertama; pribadi yang ringkih. “Qalu lam naku minal mushallin” bukan termasuk golongan orang-orang yang shalat bukan berarti tidak melakukan shalat atau meninggalkan shalat, mungkin saja kita masih termasuk orang yang tidak memperhatikan kualitas shalat atau mungkin shalat kita jadikan hanya sekedar formalitas. Lebih dari itu, sadar atau tidak kita mulai sinis terhadap orang yang dekat dengan masjid dan selalu menjaga shalat, kenapa?
Sebab kedua; kepekaan sosial yang tumpul. “walam naku nuth’imu miskin” kalau kita terlalu lama mempertahakan pribadi yang ringkih ini tanpa ada niat mengobatinya, maka hal ini akan merambat pada kehidupan bersosial kita, hidup sendiri-sendiri dan cuek dengan problem sosial yang seharusnya kita bias terlibat didalamnya.
Sebab ketiga; lingkungan dan teman-teman yang tidak Islami. “wa kunna nakhudlu ma’al khaidlin” ketika sebab pertama dan kedua dibiarkan berlarut-larut maka akan muncul lingkungan atau komunitas yang terdiri dari orang-orang “penjaja” Fasad yang menciptakan bahasa gaulnya sendiri, jauh dari kebenaran dan menentang kemapanan. Sedangkan Agama dianggap bagian dari kemapanan.
Sebab keempat; mengingkari hari pembalasan. “wa kunna nukaddzibu bi yaumiddin” sebuah pengingkaran terhadap salah satu inti dari ajaran yang mulia ini, padahal perintah beriman kepada yang ghaib lebih didahulukan daripada melaksanakan ritual ibadah.
Hingga saat penyesalan itu tiba, kita akan sadar bahwa setiap ayat-ayat yang Allah swt. tampakkan kepada kita adalah “Tadzkirah”. Saling mengigatkan itulah hal kecil yang terlupakan bahkan tabu dibicarakan, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang lari dari peringatan ini, seperti himar yang terbirit-birit karena di kejar singa.
Sebuah pesan mulia untuk para calon da’i di kampung halaman nanti, dari Alm. Ust. Rahmat Abdullah akan menutup tulisan kecil ini “karena dakwah bukan obral candu, perlu diuji ulang. Cukup tajamkah telinga ini mendengar krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata ini memandang seseorang yang membisu dalam kelaparannya yang sangatdan isterinya yang gemetar menanti rizki yang datang dengan sabar”.

0 comments:



Post a Comment