MII selalu DI hati...bag. 5


"Mereka" (teladan para bintang)

Senja datang mengikis siang, garis horizontal tergores indah di kaki langit, lukisan kuning kemerahan menghias ujung barat, selamat tinggal siang selamat datang malam. Takbir menggema memenuhi langit yang mulai ditinggalkan cahaya, seonggok cerita telah berlalu namun semangatnya masih membekas di hati, yang kan mewarnai cerita-cerita lain, cerita perjalanan para bintang di MII.


Tepat setelah sholat maghrib, para santri segera berkumpul di kelompok "ngaji"nya masing-masing, kelompok yang dibentuk untuk mentertibkan kegiatan mengaji di masjid ini terdiri dari seorang kakak kelas V sebagai pembimbing atau penanggungjawab kelompok, biasanya selain membaca al-qur'an secara bergiliran
juga ada beberapa sesi untuk tafsir dan penyampaian materi ringan yang juga disampaikan secara bergiliran, sedangkan untuk formatnya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kelompok, mungkin agar tidak monoton dan tidak membosankan jadinya terserah kreatifitas masing-masing. Sedangkan santri kelas enam "dibebaskan" dari kegiatan ini, entah apa sebabnya yang jelas sebagian besar dari mereka hanya melewatkan waktunya dengan berdiam di kamar atau ngobrol-ngobrol saja, meskipun sebagian yang lain memanfaatkannya dengan hal-hal positif, tetapi tetap saja "menurutku" ini tidak efektif.

Kami para santri baru waktu itu di bagi menjadi beberapa kelompok saja, kata kakak kelas (dpt. Dakwah) ini adalah kelompok sementara untuk mengetahui kemampuan santri baru dalam membaca al-qur'an. Seingatku ada tiga kelompok waktu itu, masing-masing kelompok dipegang satu kakak kelas V, mereka adalah: kak jebel firdaus, kak yusuf asrinrizal dan kak adhan sanusi. Ketiga kakak kelas ini sangat popular terutama di kalangan santri baru, perhatian dan sikap mereka yang kalem membuat kami "lebih mengenal" mereka daripada kakak-kakak kelas yang lain.

Setelah beberapa hari kami mengaji bersama mereka, akhirnya kami di pisahkan sesuai kemampuan (level) membaca al-qur'an masing-masing. Bagi yang levelnya masuk dalam ketegori di bawah rata-rata, berada satu kelompok dengan kak yusuf asrinrizal (begantian dengan kak hasanuddin adam). Metode belajar ngajinya agak aneh dan "kejam", tentu saja bukan seperti anak TPA yang baru belajar mengaji menggunakan metode "iqro'", ini sedikit "kasar" mungkin karena kami sudah masuk pesantren jadinya mau tidak mau harus dipaksa bisa mengaji.."malu donk anak MII ga bisa ngaji..". metode yang dipakai adalah "kalau salah dipukul", tentu metode ini setelah melalui tahapn terlebih dahulu, biasanya kak yusuf memberikan contoh terlebih dahulu lalu diikuti anggota kelompoknya, setelah itu satu-persatu dari anggotanya dimintai untuk mengulangi bacaan yang telah dia contohkan tadi, nah…ketika salah melafadzkan, kak yusuf tidak lantas membenarkannya akan tetapi memukulnya dengan pecutan dari bambu, sampai akhirnya mampu melafadzkan dengan benar (wah…kejam banget yah…hehe), pernah suatu ketika aku melihat salah satu temanku mengaji sambil nangis karena selalu kena pukul sama kak yusuf, mungkin karena selalu salah, tapi Alhamdulillah tidak ada yang "ngambek". Hehehe….

Pelajaran kelima: "berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian"…..berani nggak mengartikannya??

Sedangkan yang termasuk kategori menengah bergabung bersama kelompoknya kak adhan sanusi, di sini kami hanya "dipermak" agar lebih bagus kualitas bacaannya, belajar teori-teori dasar tajwid dan mengaplikasikan ke dalam bacaan al-qur'an dengan baik dan benar, mengenal tanda-tanda dalam mushaf dan trik-trik agar semakin lancar. Kadang-kadang kak adhan juga mengadakan tebak-tebakan (kuis berhadiah), pertanyaannya seputar hukum-hukum bacaan, ini dimaksudkan agar kami mudah mengingatnya. Aku termasuk di dalam kelompok ini, sampai sekarang aku masih terkesan dengan cara semacam ini, luar biasa. Yang paling aku ingat adalah kesan mereka yang tidak membuat kami takut dan enggan hadir di kelompoknya sehingga suasana belajar mengaji menjadi sangat menyenangkan dan dirindukan.

Bagi yang sudah lancar, mereka dipencar di kelompok-kelompok ngaji yang lain, begabung dengan santri-santri lain yang sudah terlebih dahulu memulai aktifitas di kelompoknya. sebagian besar mereka adalah santri baru yang lulusan SMP/MTS (dulu belum ada kelas takhassus), ya meskipun sebagian dari mereka ada juga yang "belum lancar" tapi mungkin karena mereka dinilai sudah "dewasa", jadinya tetap dikumpulkan dengan kelompok santri "lama". bagiku, cara seperti ini sangat efektif (klasifikasi) agar perhatian terhadap kualitas bacaan santri MII (santri PERSIS umumnya) lebih baik, sedangkan pembelajaran dan latihannya lebih terkonsentrasi dan terkondisikan. kalau sudah begitu insyallah tidak akan ada kasus "lulusan MII tidak bisa mengaji". amin

Kami bangga memiliki kakak kelas sebaik mereka, perhatian dan ketelatenan mereka begitu tulus, memberikan teladan dan contoh yang baik serta memposisikan diri sebagai kakak yang mengayomi bukan kakak "senioritas". Tidak…..aku tidak memandang kakak-kakak kelas yang lain dengan sebelah mata, mereka semua baik dan tidak mem-buli kami santri baru, aku harus jujur ketika ditanya kesan-kesan yang baik tentang kakak-kakak kelas, tentu saja aku dan mereka (santri baru) memiliki kesan-kesan tersendiri dengan kakak kelas yang lain, tetapi jika aku harus bercerita tentang mereka maka aku harus menulis kesan-kesan yang umum, kesan yang tidak hanya aku, tapi mereka juga merasakan hal serupa.

bersambung

0 comments:



Post a Comment